Keep Calm and Play Music


Ada cerita sedikit,

Dahulu kala, di abad yang lalu, ada seorang anak perempuan yang tergilagila pada musik, bermimpi jadi pemusik, pemain gitar, pemain piano, pemain biola, pemain gendang, penyanyi, apa saja.... pokoknya ada hubungannya dengan nada dan irama.

Kelas 2 hingga 4 SD, dia sempat sekolah siang di Madrasah dekat tempat tinggalnya. Di pagi hari dia pergi bersekolah umum, siangnya sekolah mengaji hingga dekat waktu maghrib. Di sana selain belajar mengaji, membaca huruf gundul, menghapal ayat dan syariah, dia juga belajar memainkan rebana. Rebana gendang yang terbuat dari kulit kambing dan rebana ketimpring/krecekan yang tebuat dari logam yang bila digoyangkan akan menimbulkan bunyi krincing yang cukup nyaring. Rebana adalah alat musik perkusi yang diperlukan untuk keperluan shalawat atau apalah namanya waktu itu (kalau sekarang sih nashid/nasheed/acapella). Dengan iringan hentakan rebana dan alat musik lainnya terlantunlah lagu dan pujipujian pada Yang Kuasa. Selain itu acara adat seperti pernikahan atau penyambutan tamu di daerah juga menggunakan alat ini sebagai tetabuhan.
Udztas Goni dan Udztas Jaelani, dua bersaudara pemilik madrasah selalu menyambut anakanak di depan pintu kelas setiap pukul 2 siang. Mereka melewati kedua Guru itu sambil mengucapkan salam lantas masuk ke dalam kelas. Tidak mencium tangan karena sudah berwudhu, lalu kelas pun dimulai. 
Hari mengaji adalah dari Senin hingga Jumat. Setiap hari mereka membaca dan menghapal ayat sebanyak yang Udztas minta, membaca huruf gundul dan mempelajari tafsirannya. Tidak setiap hari mereka diberi pelajaran membunyikan rebana pun mendendangkan nasheed. Tiap tiba waktu bershalawat pun lebih sering Udztas yang menghentakkan tetabuhan pengiring nada.
Tapi bila kelas sudah usai, anakanak boleh meminjam alat musik itu dan membunyikannya perlahan sambil menyanyikan lagu apa saja. Tidak bisa lama karena waktu maghrib cepat tiba. Bila sudah harus beranjak pulang maka anakanak menyalami udztas, mengucapkan salam dan mencium punggung tangan kanan salah seorang guru agama yang masih menjaga mereka sampai bubar itu. Tangan udztas harum sekali, wanginya merasuk tajam, meninggalkan jejak memori di gyrus otak si anak perempuan tersebut dan pastinya juga pada temantemannya. Lama berselang sejak itu, barulah mereka tau, bahwa tangan yang wangi itu disiram dengan harumharuman dari Tanah Arab, baunya sama dengan minyak yang dilabur ke batu Kabah, sama dengan wangi yang tercium bila kita masuk ke toko parfum di Mekkah dan Medinah. Kelak di kemudian hari, saat mengaromai wangi seperti itu lagi, langsung terkenang guru mengaji yang tangannya harum dan memainkan rebana dengan penuh semangat
Sesampai di rumah, karena masih terbawa adrenalin dan kadang wewangian dari bekas salaman di Madrasah, biasanya si anak perempuan masih menggumamkan lagulagu terakhir dan lemari pembatas kamar antara ruang tamu dan ruang makan menjadi sasaran. Menjadi gendang yang ditabuh.
Kadang diakhiri dengan baik, kadang pula berakhir dengan omelan Ibu atau Papanya yang menyuruh shalat maghrib.

Saat duduk di kelas 5 SD si anak perempuan dikenalkan dengan gitar klasik. Seorang kakak sepupunya memiliki gitar Yamaha klasik dan sangat piawai memetiknya. Si anak perempuan pun diajar memainkan lagu Happy Birthday dan Burung Kakatua.
"Kapan saya bisa main seperti Abang?" tanyanya bila si Abang mempertontonkan keahliannya.
"Sabaaaar.... semua ada waktunya, belajar yang gampang dulu..."
Dan gitar pun berpindah tangan
Menjadi milik si anak perempuan dan jrengjreng sendiri dengan modal jago-gitar-dengan-jurus-tiga-chord.
Inipun kadang berakhir baik, namun sayangnya, lebih sering berakhir dengan kalimat ini, "Main gitar teruuuuus.... ko mo jadi pengamenkaaah? Belajar!!"
Itu titah. Harus dilaksanakan. Belajar!! Belajar! Belajar.
Syukur, si anak perempuan itu sempat mengenyam kursus gitar di Yamaha Music School selama 8 bulan, bahkan sempat manggung di acaraacara sekolah SMP dan SMAnya
8 bulan? Delapan bulan? Iya hanya 8 bulan yang sempat diikutinya karena diakhiri oleh Papanya yang tidak mau mengantar kursus lagi.
"Kenapa kau kursus di Radio Madama?" tanya Papanya
"Radio Madama di lantai 3 Pa, kursus musiknya di lantai 2" jawab si anak perempuan
"Bukannya Yamaha itu toko alat musik saja?" tanya Papanya lagi
"Iya, tokonya di lantai 1 toh Pa, ituuu ..." tunjuknya melalui kaca toko, "Kursusnya di lantai 2"
"Tapi tidak ada temanmu Papa lihat..."
"Ada Papa..... kursusnya di lantai 2....."
Dan tidak lama berselang, berhentilah semuanya.

Perkenalan dengan  keyboard juga melalui seorang kakak sepupu. Dia memiliki sebuah keyboard merk Roland. Si anak perempuan selalu merengek diajar dan sedikit banyak ilmu pun berpindah. Ilmu turunan otodidak sebetulnya. Karena modalnya hanya bukubuku belajar keyboard sederhana dan buku lagu yang sedang trend di masa itu dari Gramedia. Namun karena si Abang lebih piawai mengiringi menyanyi, maka si anak perempuan itu pun lebih senang beryanyi akhirnya. Jago-keyboard-dengan jurus-5-chord pun sudah cukup untuk saat itu.
Kelas privat keyboard 3 bulan pernah pula dia ikuti. Ini punya tantangan yang berbeda.
Si anak perempuan sudah tumbuh besaaaaarrrrrr....... sudah nikah dan punya anak malah! Jadi sudah wanita, bukan anak perempuan kecil lagi.
Papanya pun sudah tak ada, tak ada lagi yang melarang main musik.
Tapi kursus yang hanya 3 bulan itu kadang dipenuhi dengan rasa frustasi berkepanjangan.
Jemari wanita ini tidak selentur jemari anakanak kecil lagi
Jemarinya sulit disuruh menari di atas tuts. Otak pun agak guncang bila disuruh bertugas lebih, antara motorik tangan kiri yang harus menekan chord dan tangan kanan yang bertanggungjawab untuk melodi, serta menghapal paduan nada yang timbul dari beberapa tuts yang ditekan sekaligus. Juga uruturutannya, manalagi tempo dan iringan background instrumennya.... aaah......  
Manalagi saat jam kursus usai, dia keluar dan bertemu dengan anakanak kacuping yang juga baru bubar dari kelas sebelah, tatapan mereka menghujam sampai dalam dada, nyaris tiba di tulang belakang, saat mereka mencocokkan buku mereka yang ternyata sama dengan buku yang wanita itu pegang. Tak ada anak kecil yang ditunggu, tidak pula sedang mengantar kursus anak tetangga.......
"Tante kursus juga?"  .... aaah.....

Maka dengan kesadaran penuh, wanita itu menetapkan bahwa petualangannya memainkan alat musik mungkin memang hanya sampai level 3 atau 5 chord saja.
Mungkin lebih baik dia jadi penyanyi!!
Dan foto di atas adalah foto pemain keyboard yang kelak akan mengiringi wanita itu bernyanyi.
Dia sudah menawarkan diri kok, "Ibuuuuu.... kalau Attis sudah pintar main, Ibu menyanyi dan Attis main kibor toh Ibuuuu......"
Senang kan.
Gantunglah citacitamu setinggi langit
Urusan tercapai atau tidak, tergantung Yang Maha Penentu saja
















No comments:

 

THE SOUL © 2008. Template Design By: SkinCorner