Alis is Everything


Foto ini diklik saat acara sirkum massal Reuni Perak Smansa '91 Makassar. Sebagai korlap acara sirkum saya sibuk mondarmandir urus ini itu di sana sini.
Kalo mengoceh dan kegiatan makan bisa menghilangkan lipstik, maka acara sirkum sudah jelas bisa mengaburkan alis!!
Cari saja di mana hubungannya, yang jelas ini terjadi padaku.
Sama dengan hujan yang dapat melenyapkan lukisan alis 😊☔😊☔😊☔

Alis itu buatku kadang jadi obat PD
Bila pagipagi melukis alis OK, maka seharian bawaannya hati senang
Jadi usahakan keluar rumah dengan alis tercentang bagus.
Kalau sudah periksa pasien, kegiatan mencuci tangan di wastafel adalah juga kegiatan mengecek alis.
Jadi kalo 10 pasien poli maka 10 kali juga saya mengecek alis.
Kegiatan yang aneh.

*Kandatto'ka kalo kalian juga tidak begitu, hai parampuangparampuang pamode!!

My Blood for Others


The differences make things beautiful. And its not necessary for worrying about being different. I've learned that the traits we'd rush are actually  everyone desire. People always covet what they don't have. That's why you should say, 'I'm proud of myself and I love the way I made."

My First Ompong


Karena libur sekolah maka setiap hari sejak minggu lalu saya disuruh ikut pergi ke tempat kerja Ibu, Papa atau Puang Ibu. Bergantiganti. Siapa saja di antara mereka yang waktu dan pekerjaannya ringan hari itu, saya akan ikuti sepanjang hari.
Kadang di RS tempat mereka bekerja banyak juga anakanak dokter atau perawat yang ikut orangtua mereka, akhirnya saya punya beberapa teman, kadang lebih muda dari saya, sepantaran atau lebih kakak. Bila kebetulan tak ada anakanak, saya bermain dengan perawat yang juga sedang ringan pekerjaannya. Mereka menemani saya ngobrol atau menggambar.
Sebelum ke RS saya dibekali makanan dan minuman, buku cerita atau buku gambar plus klerwarnanya, kata Ibu supaya tidak rewel dan mengganggu orang lain. Tapi sebenarnya saya lebih suka main kelereng, main gambartempel/wayang atau kejarkejaran dan main petakumpet dengan temantemanku itu. Kadang juga saya mengambil kertas yang banyak tertumpuk di atas meja atau di dalam lemari lalu melipatlipatnya menjadi pesawat terbang yang kemudian kutiup dan kulayangkan ke depan. Pesawat kertas akan terbang indah akibat tiupanku! Betulan! Coba saja melempar tanpa ditiup, pesawat akan jatuh dan tak jauh melayang. Musti kutanyakan ini bagaimana mekanismenya pada Papa suatu waktu kelak.
Tak bisa kutanyakan pada Ibu, karna Ibu kadang cerewet memeriksa kertas pesawatku, katanya, "Attiiiiisssss.... dari mana lagi kau ambil itu kertas? Janganjangan kertas penting buat akreditasi!!!"
Apa itu akreditasi? Musti kutanyakan juga pada Ibu suatu waktu kelak.
Ibu juga suka mengomel kalau saya ketahuan naik di brankar untuk menerbangkan pesawat. Dia selalu takut saya jatuh. Padahal mustinya dia berpikir, bagaimana bisa menerbangkan pesawat bila tempatnya tidak tinggi. Langsung jatuh ke lantai toch! Tidak melayanglayang dulu.

Nah, hari ini saya direncanakan untuk ikut Ibu ke RS. Tadjuddin. Setelah mandi, saya duduk di depan TV menunggu Ibu siap.
Tapi tibatiba Puang Ibu menyuruhku untuk ikut dengannya ke Dadi, tempat kerja Puang Ibu. Katanya, "Ayo ikut sama Puang Ibu ke Dadi, sebentar kita pergi cabut gigimu, lalu kita pergi makan gadogado!"
Ah.... enaknya itu gadogado, saos kacangnya banyaaaak, telurnya 1 dan kerupuknya lebaaaar.....
Tapi cabut gigi? 
Saya berusaha menolaknya, takut, kataku, "Ikut Ibu saja, Puang Ibuuuuu..... cabut gigi sakiiiiit"
"Tidaklaaaah.... itu gigimu sudah goyang toch, cuma sedikit digoyang saja akan tercabut. Lagipula gigi di belakangnya sudah tumbuh, kalo tidak dicabut bisa jadi seperti giginya Barong yang  bersusunsusun. Ayoooo, baru kita pigi makan gadogado!"
"Ibuuuuuu....." seruku meminta pertolongan Ibu. Tapi rupanya Ibu setuju dengan perintah Puang ibu. Saya menyesal tadi tidak ikut Papa saja. Ibu betulbetul payah nih, tidak berusaha menyelamatkanku sedikit pun!

Akhirnya waktu cabut gigi pun tiba
Tidak usah saya ceritakan betapa sakitnya saat gigi itu ditarik keluar.
Padahal sebelumnya dikasi jelly strawberry dulu yang kata dokter gigi supaya waktu giginya keluar tidak nyeri.
Huh.... apaan tidak nyeri, it's nyeri sekali!! It's very very nyeri!!
Saya berteriak kaget, "AAA........!!!"
Trus saya disuruh gigit kapas.
Supaya tidak berdarah. Semua orang tertawa dan bertepuk tangan.
Kata mereka, saya anak pintar, dan berani, dan jagoan, dan kece (yang di belakang itu saya saja yang tambahkan, supaya lebih OK)
Tapi sebenarnya saya kecewa..... 
Gigiku ompong, sakit dan tidak dijajanin gadogado, karena tidak bisa mengunyah!!
Sepertinya saya tertipu!
Hm.... tapi saya tidak boleh terlihat cengeng, saya musti cerita ke Ibu dan Papa kalo saya berani, cuma berteriak sedikit. Sedikit sekali....
Waktu sekecil saya, pasti mereka takut sama yang namanya dokter gigi deh!
Pasti mereka mengkerut dan menangis sejadijadinya bila diajak ke dokter gigi. Tidak seperti saya. Saya yakin itu.

*besok musti jadi pigi makan gadogado
*mudahmudahan tidak tertipu lagi

RAPORT


Raport berasal dari bahasa Belanda, artinya laporan, berisi barisan angka atau huruf hasil pekerjaan dan penilaian. Baik buruknya hasil tersebut adalah simpulan dari rentetan testes.ulanganulangan.ujianujian selama ini.
Raport itu dibagikan tiap akhir catur wulan atau semester, sesaat menjelang libur
Jadi bisa dikatakan angka di Raport dapat menentukan kita bisa bersenangsenang selama liburan atau tidak
Bayangkan kalau raport jelek, pasti dapat omel orangtua,
"Kok angkanya rendah?"
"Kenapa kamu tidak ranking?"
"Apa saja yang kau pelajari selama ini, sampai angkamu jelek?"
Orangtua yang mengajukan pertanyaan seperti ini mungkin tidak pernah menganalisa :
- apa penyebab nilai anaknya rendah
- kenapa anaknya tidak ranking
- apa saja yang dipelajari anaknya selama ini
Dan pertanyaan yang paling penting adalah : ORANGTUA KE MANA DAN NGAPAIN AJA SELAMA INI ??
Sistem sekolah juga mungkin perlu dicermati, apakah perlu betul ranking itu?
Untuk apa ranking diadakan?
Kenapa musti dipertandingkan?
Kementrian Pendidikan perlu lebih teliti mengamati, bahkan bila perlu mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan pertumbuhan dan perkembangan pribadi anak. Kita perlu mempertimbangkan apakah tidak lebih baik kalau diseragamkan saja semuanya : ranking dihapus saja. Institusi yang bergerak di bidang pendidikan pun tentunya bisa lebih fokus pada kemajuan individu (anak) dari waktu ke waktu, bukan memperhatikan ranking yang naik turun di antara siswanya.
Ingat, anak adalah individu.
Anak bukan orang dewasa dalam bentuk mini.
Setiap anak adalah istimewa?
Setiap anak sama hak dan kewajibannya di sekolah, juga dalam hal bermain dan bersenangsenang dengan kawan seumurannya.
Dan, selayaknya, ini bukan untuk dipertandingkan.
Bukan untuk diranking :
menjadi yang paling pintar di kelas,
nomor 2 terpintar,
nomor 3,
sampai anak yang terbodoh di kelas (bisa saja, bila memang diurut)

Perasaan menjadi ranking 1 pastinya senang, karena misalnyaaaaaa...... mendapat hadiah setumpuk buku cerita yang dibeli di Gramedia Pasar Senin lantas ditraktir di restoran Sate Betawi terenak seJakarta, boleh minum teh Sosro sampai 2 botol pun PapaIbu okeoke saja
Tapi proses menuju ke ranking itu panjang, sosodara sekalian, berliku, sulit, terjal (apaan sih....) Syukursyukur bila saat ujian tidak sakit.
Trus bagemana perasaan anakanak lain yang mau juga merasakan jadi ranking 1? Seandainya bisa bergiliran atau bergantian....

Banyak cara untuk melatih semangat berkompetisi.
Anakanak yang suka menari atau menyanyi atau melukis atau kesenian lain dikumpulkan, dilatih bersama, lantas dipertandingkan.
Anakanak yang hobby berdebat (tidak termasuk mendebat orangtua dengan kepala batunya) dikumpulkan dalam tim debat, dibimbing lalu dipertandingkan.
Anakanak yang jago fisika, kimia, matematika, bahasa Arab masingmasing dipertandingkan (mudahmudahan tidak ada pertandingan fisika-kimia-matematika dalam bahasa Arab, sulitnya itu!!)
Anakanak yang suka olahraga saling diperlombakan.
Bahkan anakanak yang tidak suka semuanya, boleh dudukduduk di tepi lapangan menjadi Tim Hore, yang yelyelnya paling oke juga mendapat hadiah....
Semua senang
Semua bahagia

Oh ya jangan lupa, anakanak itu harus dipersiapkan pula mentalnya sebelum bertanding, sapatau ternyata kalah!
Mereka yang kalah harus dibesarkan hatinya bahwa walaupun tidak menang mereka adalah orangorang pilihan dari sekolah mereka, mereka tetap yang terbaik!

Untung saja sekolah Attis tidak menganut paham ranking ini
Mereka percaya semua anak istimewa, semua mendapat perhatian yang sama banyaknya.
Orangtua tidak dikumpulkan dan diumumkan siapa yang menjadi yang terbaik semester ini, tapi orangtua dipertemukan satu persatu dengan wali kelasnya, kami ngobrol soal angkaangka anak, soal tingkah laku mereka, soal perkembangan mereka selama 1 semester ini.
Angka yang tercantum di Raport pun adalah akumulasi monthly test dan ulangan semesternya
Dan disajikan dalam 3 lajur angka : angka standar sekolah, angka pribadi anak dan angka ratarata kelas.
Saya sebagai orangtua sangat senang dengan metode ini, apalagi melihat angka anak yang hampir semua jauh di atas ratarata standar dan ratarata kelas,
Saya ngakak ketika tau angka Mandarin Attis standar saja, tapi tertutupi oleh angka Sciencenya yang tinggi. Di situ saya makin yakin kalau dia bukan orang Tionghoa, tapi aseli Belanda (lho....).
Saya jadi tau bahwa dia sangat cepat menangkap pelajaran Ilmu Pasti dibanding yang lain
(mungkin bisa saya mulai mencicil peralatan kedokteran untuk Attis mulai sekarang!!) --> sabar Ibuuuuuuu.......
Saya juga tidak merasa perlu tau anak saya ranking berapa atau siapa anak terpintar di kelasnya karena itu tidak penting buat saya, buat sekolah, buat anak.

Begitulah
Itu pengalaman pertama saya menerima raport semester kelas 1 SD untuk Attis.
Ini foto tadi pagi waktu sedang antri.
Mudahmudahan selalu begitu
Dia tetap pintar, sehat dan selalu bahagia
Dan saya tetap narsis....

Need Vacation !!


When a very busy week just killed me!
Heeeeeeelppppp!!
#needvacation

#mercurekuta
#baliindonesia

Hmmmm....


Kalo jam segini masih di RS kemungkinannya adalah :
1. Hujan keras dan tidak adami petepete lewat
2. Terkunci di dalam OK
3. Akreditasi

*Akre ini menyeksakuh......

Rujak!


Akreditasi ini menyiksaku
Harus standby di kantor ndak boleh pecicilan ke manamana

Rujak ini menyiksaku
Ada di depanku di dalam ruanganku tapi belum sempat dimakan karena sibuk urus akre
 


Akreditasi ini menyiksaku
Karena ketentuan di OK tidak boleh ada piring/sendok/kompor/dapur

Semua sudah disembunyi di tempat aman oleh perawat OKku
Jadinya ndak bisa makan rujak toh
Rujak ini menyiksaku....

#lovelovelove


My lunch date today
#lovelovelove

Keep Calm and Play Music


Ada cerita sedikit,

Dahulu kala, di abad yang lalu, ada seorang anak perempuan yang tergilagila pada musik, bermimpi jadi pemusik, pemain gitar, pemain piano, pemain biola, pemain gendang, penyanyi, apa saja.... pokoknya ada hubungannya dengan nada dan irama.

Kelas 2 hingga 4 SD, dia sempat sekolah siang di Madrasah dekat tempat tinggalnya. Di pagi hari dia pergi bersekolah umum, siangnya sekolah mengaji hingga dekat waktu maghrib. Di sana selain belajar mengaji, membaca huruf gundul, menghapal ayat dan syariah, dia juga belajar memainkan rebana. Rebana gendang yang terbuat dari kulit kambing dan rebana ketimpring/krecekan yang tebuat dari logam yang bila digoyangkan akan menimbulkan bunyi krincing yang cukup nyaring. Rebana adalah alat musik perkusi yang diperlukan untuk keperluan shalawat atau apalah namanya waktu itu (kalau sekarang sih nashid/nasheed/acapella). Dengan iringan hentakan rebana dan alat musik lainnya terlantunlah lagu dan pujipujian pada Yang Kuasa. Selain itu acara adat seperti pernikahan atau penyambutan tamu di daerah juga menggunakan alat ini sebagai tetabuhan.
Udztas Goni dan Udztas Jaelani, dua bersaudara pemilik madrasah selalu menyambut anakanak di depan pintu kelas setiap pukul 2 siang. Mereka melewati kedua Guru itu sambil mengucapkan salam lantas masuk ke dalam kelas. Tidak mencium tangan karena sudah berwudhu, lalu kelas pun dimulai. 
Hari mengaji adalah dari Senin hingga Jumat. Setiap hari mereka membaca dan menghapal ayat sebanyak yang Udztas minta, membaca huruf gundul dan mempelajari tafsirannya. Tidak setiap hari mereka diberi pelajaran membunyikan rebana pun mendendangkan nasheed. Tiap tiba waktu bershalawat pun lebih sering Udztas yang menghentakkan tetabuhan pengiring nada.
Tapi bila kelas sudah usai, anakanak boleh meminjam alat musik itu dan membunyikannya perlahan sambil menyanyikan lagu apa saja. Tidak bisa lama karena waktu maghrib cepat tiba. Bila sudah harus beranjak pulang maka anakanak menyalami udztas, mengucapkan salam dan mencium punggung tangan kanan salah seorang guru agama yang masih menjaga mereka sampai bubar itu. Tangan udztas harum sekali, wanginya merasuk tajam, meninggalkan jejak memori di gyrus otak si anak perempuan tersebut dan pastinya juga pada temantemannya. Lama berselang sejak itu, barulah mereka tau, bahwa tangan yang wangi itu disiram dengan harumharuman dari Tanah Arab, baunya sama dengan minyak yang dilabur ke batu Kabah, sama dengan wangi yang tercium bila kita masuk ke toko parfum di Mekkah dan Medinah. Kelak di kemudian hari, saat mengaromai wangi seperti itu lagi, langsung terkenang guru mengaji yang tangannya harum dan memainkan rebana dengan penuh semangat
Sesampai di rumah, karena masih terbawa adrenalin dan kadang wewangian dari bekas salaman di Madrasah, biasanya si anak perempuan masih menggumamkan lagulagu terakhir dan lemari pembatas kamar antara ruang tamu dan ruang makan menjadi sasaran. Menjadi gendang yang ditabuh.
Kadang diakhiri dengan baik, kadang pula berakhir dengan omelan Ibu atau Papanya yang menyuruh shalat maghrib.

Saat duduk di kelas 5 SD si anak perempuan dikenalkan dengan gitar klasik. Seorang kakak sepupunya memiliki gitar Yamaha klasik dan sangat piawai memetiknya. Si anak perempuan pun diajar memainkan lagu Happy Birthday dan Burung Kakatua.
"Kapan saya bisa main seperti Abang?" tanyanya bila si Abang mempertontonkan keahliannya.
"Sabaaaar.... semua ada waktunya, belajar yang gampang dulu..."
Dan gitar pun berpindah tangan
Menjadi milik si anak perempuan dan jrengjreng sendiri dengan modal jago-gitar-dengan-jurus-tiga-chord.
Inipun kadang berakhir baik, namun sayangnya, lebih sering berakhir dengan kalimat ini, "Main gitar teruuuuus.... ko mo jadi pengamenkaaah? Belajar!!"
Itu titah. Harus dilaksanakan. Belajar!! Belajar! Belajar.
Syukur, si anak perempuan itu sempat mengenyam kursus gitar di Yamaha Music School selama 8 bulan, bahkan sempat manggung di acaraacara sekolah SMP dan SMAnya
8 bulan? Delapan bulan? Iya hanya 8 bulan yang sempat diikutinya karena diakhiri oleh Papanya yang tidak mau mengantar kursus lagi.
"Kenapa kau kursus di Radio Madama?" tanya Papanya
"Radio Madama di lantai 3 Pa, kursus musiknya di lantai 2" jawab si anak perempuan
"Bukannya Yamaha itu toko alat musik saja?" tanya Papanya lagi
"Iya, tokonya di lantai 1 toh Pa, ituuu ..." tunjuknya melalui kaca toko, "Kursusnya di lantai 2"
"Tapi tidak ada temanmu Papa lihat..."
"Ada Papa..... kursusnya di lantai 2....."
Dan tidak lama berselang, berhentilah semuanya.

Perkenalan dengan  keyboard juga melalui seorang kakak sepupu. Dia memiliki sebuah keyboard merk Roland. Si anak perempuan selalu merengek diajar dan sedikit banyak ilmu pun berpindah. Ilmu turunan otodidak sebetulnya. Karena modalnya hanya bukubuku belajar keyboard sederhana dan buku lagu yang sedang trend di masa itu dari Gramedia. Namun karena si Abang lebih piawai mengiringi menyanyi, maka si anak perempuan itu pun lebih senang beryanyi akhirnya. Jago-keyboard-dengan jurus-5-chord pun sudah cukup untuk saat itu.
Kelas privat keyboard 3 bulan pernah pula dia ikuti. Ini punya tantangan yang berbeda.
Si anak perempuan sudah tumbuh besaaaaarrrrrr....... sudah nikah dan punya anak malah! Jadi sudah wanita, bukan anak perempuan kecil lagi.
Papanya pun sudah tak ada, tak ada lagi yang melarang main musik.
Tapi kursus yang hanya 3 bulan itu kadang dipenuhi dengan rasa frustasi berkepanjangan.
Jemari wanita ini tidak selentur jemari anakanak kecil lagi
Jemarinya sulit disuruh menari di atas tuts. Otak pun agak guncang bila disuruh bertugas lebih, antara motorik tangan kiri yang harus menekan chord dan tangan kanan yang bertanggungjawab untuk melodi, serta menghapal paduan nada yang timbul dari beberapa tuts yang ditekan sekaligus. Juga uruturutannya, manalagi tempo dan iringan background instrumennya.... aaah......  
Manalagi saat jam kursus usai, dia keluar dan bertemu dengan anakanak kacuping yang juga baru bubar dari kelas sebelah, tatapan mereka menghujam sampai dalam dada, nyaris tiba di tulang belakang, saat mereka mencocokkan buku mereka yang ternyata sama dengan buku yang wanita itu pegang. Tak ada anak kecil yang ditunggu, tidak pula sedang mengantar kursus anak tetangga.......
"Tante kursus juga?"  .... aaah.....

Maka dengan kesadaran penuh, wanita itu menetapkan bahwa petualangannya memainkan alat musik mungkin memang hanya sampai level 3 atau 5 chord saja.
Mungkin lebih baik dia jadi penyanyi!!
Dan foto di atas adalah foto pemain keyboard yang kelak akan mengiringi wanita itu bernyanyi.
Dia sudah menawarkan diri kok, "Ibuuuuu.... kalau Attis sudah pintar main, Ibu menyanyi dan Attis main kibor toh Ibuuuu......"
Senang kan.
Gantunglah citacitamu setinggi langit
Urusan tercapai atau tidak, tergantung Yang Maha Penentu saja
















December Can't Stop My Selphie!!


Time flies...
December has come!!
Mudahmudahan semuanya lancar, minyaknya ilang, senyumnya sempurna, sakkulunya hilang, tetap sehat, tetap bahagia

Ibu dan Attis


Digambar tepat setahun yang lalu 28 November 2014
Dan disodorkan dengan penuh cinta oleh my very gagah boy : Attis
Katanya, "Ibuuuu, ini ibuuuu..... ini Attis...."
Can you see that I am wearing a very beautiful necklace?
Oh my Attis, you are my priceless long necklace, I keep you around me, in front of my beating heart, near to my twin lung, and always in my mind
 

THE SOUL © 2008. Template Design By: SkinCorner