Sesi Curhat Siang

Suatu hari saat melakukan tugas sebagai seorang dokter spesialis bedah yang amat sangat sok sibuk di RS Maros, saya mendapatkan seorang ibu sebagai pasien bedah. Si ibu ini memiliki tumor di punggungnya, keliatannya sih tumor jinak, jadi dengan berbekal pemeriksaan laboratorium, kugiring ibu itu masuk ke ruang operasi.

Sebelumnya telah dilakukan sesi anamnesis (pertanyaan tentang keluhan pasien) dan pemeriksaan fisis. Saat sesisesi itu dilakukan, kuamati wajah si Ibu yang masih sangat cantik di umur 40an-nya. Kupikir, di mana ya pernah kulihat Ibu ini?

Nah, waktu operasi akan dimulai, kuperintahkan ibu tersebut untuk tengkurap karena tumor yang akan dievakuasi terletak di punggung kanan atas dekat bahu. Si Ibu menurutinya dan saya mulai melakukan prosedur steril (membersihkan dengan betadin-alkohol), drapping (menutup badan kecuali daerah operasi) dan memberikan anestesi lokal. Sambil menunggu bius lokalnya bekerja, kuajak lagi si Ibu bercakapcakap

"Maaf ya, Bu, sebenarnya Ibu umur berapa sih?" (actually it's not polite for asking somebody's age, but I don't care because it is continued with, "Kayak masih 20an tahun! Masih cantik dan muluuuus..." kataku memuji tulus sambil menatap lapangan operasiku yang cuma seukuran 10x10 cm
Betul saja, dia cekikikan disebut semuda itu, "Ah Dokter suka berlebihan, saya sudah 48 lho Dok."
"Oh ya? Tapi ndak keliatan. Sungguh. Wajah Ibu juga rasanya familiar sekali bagi saya. Mirip bintang film siapa ya?"
Si Ibu tambah kesenangan, "Masak sih Dokter, mirip siapa, Dok?"
"Nah itu dia, Bu, saya lupa Ibu mirip siapa..." jawabku sambil mulai mengiris.

Selama bekerja, saya terdiam, konsentrasi dengan pekerjaan saya sendiri.
Si Ibu pun kurasakan tenang selama prosedur operasi berlangsung.

Setelah selesai, luka operasi sudah dirapikan dan ditutup dengan kasa steril, kuminta pasienku itu untuk kembali terlentang.
Teramati sekali lagi wajahnya, mirip siapa ya?

Rupanya karena merasa diamati, si Ibu bertanya, "Dokter masih penasaran saya mirip siapa?"
Saya mengangguk dan dia pun melanjutkan dengan , "Mungkin dokter pernah lihat baliho saya terpajang di jalanan, saya Caleg, Dok, dari partai ... (diedit oleh a g i q)"
Teranglah pikiran saya, "Oh iyaaaaa..... pantas rasanya familiar sekali, ternyata sering dilihat ya Bu."
"Hahaha..." tawa si Ibu bergema anggun, "iya, Dok, bukan bintang film, kan!"
Saya mengajak si Ibu untuk kembali ke ruang periksa, selesai operasi ini dia bisa langsung pulang.
Si pasien duduk menunggui saya menuliskan laporan operasi dan resep untuk dibawa pulang.

"Sebenarnya saya tidak minat ikut Calegcaleg begitu, Dok!" ujarnya pelan namun cukup membuatku terkejut
"Lantas kenapa Ibu ikut?" tanyaku (mengimbangi keinginannya untuk curhat!)
Lalu apa jawabnya? "Untuk memenuhi quota, Dok. Tiap partai kan punya quota, saya pendaftar paling akhir waktu itu. Itu pun setelah saya dipaksapaksa keluarga yang ketua partai di Kabupaten ini."
"Jadi ibu terpaksa?" tanyaku iseng
"Iya dok!"
Hhaaa...?
"Kalo tidak dipaksa ngapain saya maju dan buangbuang uang untuk semua prosedur dan bikinbikin baliho serta sosialisasi seperti itu. Capek, Dok. Siangnya kalo ndak ngurus Salon, ya kumpul dengan temanteman dan tim sukses. Malamnya sosialisasi dengan masyarakat, keluarmasuk RT/RW! Mending saya memajukan usaha salon saya saja kan, Dok."
"Oh Ibu punya salon?" tanyaku kini penuh perhatian kepadanya setelah menuntaskan pekerjaanku dengan menandatangani berita operasi si Ibu.
"Iya, Dok. Salon gunting, creambath, ada juga spa-nya."
"Jadi sekarang gimana, Bu? Mau mundur dari pencalonan tidak lucu kan?"
"Ya iyyalah , Dok, bagaimana mau mundur, sudah di tengah jalan begini. Malah hampir finish kan. Saya cuma merasa saya tidak mampu dan itu bukan bidangku, tapi tim suksesku ngotot. Malah kata mereka pasti naik, kan pelanggan di salon bisa diajak mencontreng gambarku. Tapi saya jadi merasa makin aneh karena takut orang menganggap saya yang "buta-politik" ini hanya menjadi boneka di Partai, Dok. Ah bikin pusing saja." ujarnya panjang lebar sendu namun tersenyum.
"Jadi...." saya tidak tau mau komentar apa lagi, "Sudahlah, Bu... semangat saja!" seruku asal.
"Itulah, Dok, kayaknya saya tidak punya dorongan dari dalam diri saya sendiri, lihat bagaimana sajalah nantinya, tapi Dokter doakan saya ya, mudahmudahan saya mendapatkan apa yang paling sesuai nanti." pintanya berusaha bijak.
"Ya Ibu, saya doakan, bila Ibu terpilih, Ibu akan menjadi Anggota Legislatif yang baik, mengutamakan suara rakyat dan berjalan di alur yang benar. Tapi bila Ibu tidak terpilih pun, saya yakin, Ibu tetap akan jadi yang terbaik di bidang Ibu." saya menutup sesi curhat siang itu dengan, "Ibu, ini resepnya, 2 hari lagi datang kontrol ya, Bu, terima kasih."

5 comments:

Anonymous said...

08:46 on 03 March
Wonderful History, sayang kalau tidak diangkat menjadi cerpen. Itu realita politik di Indonesia, orang bahkan tidak tahu apa tujuannya menjadi politisi. Namun harus dipahami bangsa ini sedang belajar jadi wajar kalau disana sini ada trouble.

Anonymous said...

11:29 on 03 March
k' agiq untung kt ndak ndaftar nanti banyak yg cobloski mantan2 manusia yg pernah di-opspek hehe...)
artinya memang tim sukses hanya mau sukses dan ber-suksesi tanpa mikir yang jadi pionnya itu bakal jadi apa kelak, just memenuhi quantity but not quality ... hidup Indonesia, semoga bisa jadi dewasa dalam berpolitik ..

Anonymous said...

18:11 on 03 March
giq, ceritanya menarik... sebenanya say.. aq berharap-harap cemas waktu baca krn sy berpikir ibu itu qt kenal jd sy baca cepat2 untuk tahu siapa dia...but giq sedih bgt dia hanya mencukupkan quota bukan krn punya kompetensi.

Anonymous said...

at 18:15 on 03 March
Mudah2an ibu itu diselamatkan oleh Tuhan alias gak jadi anggota legislatif...menzalimi diri sendiri dan konstituen...dan yang repot kalo dia dtg dengan maksud curhat sama temen gue yang katanya sok sibuk hahaha...bisa aja niyy Agiq!

Anonymous said...

at 08:53 on 05 March
"Kesempatan dan Kompetensi".....perlu terus dipertautkan demi keselarasan dan harmonisasi..........

 

THE SOUL © 2008. Template Design By: SkinCorner