One day in your life One day in your life One day in your life You'll remember me somehow
You'll remember a place
Someone's touching your face
You'll come back and you'll look around you
You'll remember the love you found here
You'll remember me somehow
Though you don't need me now
I will stay in your heart
And when things fall apart
You'll remember one day...
When you find that you're always waiting
for the love we used to share
Just call my name
And I'll be there
Though you don't need me now
I will stay in your heart
And when things fall apart
You'll remember one day...
When you find that you're always longing
<for the love we used to share
Just call my name
And I'll be there
(Ohh...)
Love Song
k e a j a i b a n
Yang jelas, saya mengalami apa yang kusebut ajaib itu suatu waktu dulu di Tanah Suci Mekkah.
Ibu juga menjadi TKHI pada musim haji itu. Jadi kami sering ketemuan di Masjidil Haram. Tempat favorit kami adalah di lantai 2 segaris dengan Multazam. Musim haji tahun itu sungguh merupakan berkah bagi kami karenanya.
Di depan Multazam itulah kami mendrop banyak doa, meminta kesehatan, memohon citacita kami dikabulkan, dan lainlain.
Hari itu, saya dan Azwar duduk bersisian usai shalat ashar di tempat favorit kami tersebut. Kami masih duduk membaca doa dan terpekur untuk kesekian kalinya memandang takjub putaran jutaan manusia di bawah sana berthawaf. Mengelilingi Ka’bah 7 kali. Lantun doa terdengar gemuruh memberi warna tersendiri.
Saat itulah, terbang seekor burung merpati, rendah di atas kepala kami, berputarputar. Burung merpati memang sangat banyak jumlahnya di halaman mesjid, jinak, dan kami sering membeli 1 kantong biji gandum seharga 1 real untuk memberi mereka makan langsung dari telapak tangan kami. Menurut cerita orang, merpati adalah burung peliharaan nabi Muhammad SAW.
Merpati yang terbang di atas kepala kami tadi kemudian menjatuhkan biji gandum di atas sajadah kami. Sajadah saya dan sajadah Bang Azwar yang masih terhampar di hadapan kami. Saya tertawa dan berkata, “Lucunya burung itu, dia kira kita juga makan gandum kali ya?”
Bang Azwar juga ikut tertawa.
Lalu saya dan Bang Azwar mengumpulkan bijibiji gandum di atas kedua sajadah kami. Dari kedua alas sembahyang itu kami mengumpulkan biji gandum sebanyak tujuh. Biji gandum itu berjumlah tujuh. TUJUH. Angka yang oleh sebagian orang dianggap punya makna penting. Kami mencari lagi siapa tau ada yang masih tersisa, tapi ternyata sudah tidak ada lagi yang lain. Pun di atas lantai atau sajadah orang di sebelah kami.
Bang Azwar berkata, “Simpan saja, Gi!” setelah saya menyerukan jumlah tujuh biji gandum.
Kami menyimpannya hingga saat ini. Entah pertanda apa ketujuh biji gandum itu. Tapi kami berdua yakin pada waktu itu (dan sampai saat ini) bahwa Tuhan Yang Maha Tau dan Maha Penyayang memberikan tanda untuk menyatukan kami berdua. Amien...
Masih di Masjidil Haram...
Malam itu malam tahun baru Hijriah 1423, saya dan Bang Azwar mengambil keputusan untuk bermalam di mesjid.
Sudah jam 9 malam ketika kami sampai di mesjid. Saya ajak Bang Azwar untuk naik ke pelataran lantai 4, bagian mesjid yang tidak beratap, “Yuk kita lihat langit!” begitu ajakku. Bang Azwar mengangguk dan kami pun melangkah ke eskalator menuju lantai 4. Tidak ada orang yang mengikuti jejak kami. Suasana bagian mesjid ini sepi. Mungkin di pelataran di atas banyak orang ya? Begitu bathinku saat itu.
Sesampai di lantai 3, baru akan melangkah ke jejakan eskalator berikutnya, tibatiba, entah muncul dari mana, seorang wanita berjubah dan bercadar hitam datang dan berseru pada kami, “Hayya hajjah, hayya hajj,” lalu mengulurkan tangannya, ternyata dia memberikan 2 buah kembang gula berbentuk wajah orang, warnanya satu pink dan satunya lagi hijau. Kuambil dan kuserukan “Thankyou, hajjah!” lalu kami kembali mengamati kedua permen itu. Mungkin cuma tiga detik, mungkin lima detik, saat kuangkat wajahku, wanita berjubah itu sudah hilang. Kutengok ke eskalator turun dan yang naik, dia tidak ada. Mana mungkin dia menghilang begitu cepat? Saya dan Bang Azwar kembali terperangah merasakan keanehan/keajaiban ini.
“Mungkin tadi itu malaikat ya Azwar?” tanyaku dengan sepenuh heranku.
“Tapi permennya asli, Gi!”
“Iya tapi ke mana dia?”
Mungkin bila seperti di filmfilm, mustinya bisa kami lihat asapnya dulu sebelum dia betulbetul menghilang. Ah, dia raib terlalu cepat!
Saya tidak ingat apa saya memakan permen itu, kayaknya sih iya, yang saya ingat, Bang Azwar kuberi satu yang warna hijau.
Kembang gula berarti manis ya? Mudahmudahan hidup kami dipenuhi kemanisan, Insya Allah. Amien.
Keajaiban lain, lokasi lagi-lagi : di Masjidil Haram.
Saat berusaha mencium Hajar Aswad, saya ditemani Bang Azwar dan seorang kenalan mahasiswa Indonesia yang kuliah di Cairo. Kukira di akhir musim haji, saat sudah banyak jemaah yang pulang ke negaranya masingmasing, kepadatan orang berthawaf juga akan berangsurangsur berkurang. Ternyata dugaanku salah. Jemaah yang tersisa malah terasa makin bersemangat dan berlombalomba menyempurnakan ibadahnya. Hal ini membuat kami pun berpikir, apa boleh buat, kita pun harus bersemangat menyempurnakan segalanya, termasuk mencium Hajratul Aswad.
Sebelumnya kami mengatur strategi, bagaimana caranya mendekati, bergiliran mencium dan bagaimana keluar dari kerumunan tersebut. Nah setelah mantap, kami pun berjalan mendekati pintu Kabah dari arah kanan (berarti kami akan melawan arus yang bergerak ke kanan. Kacamataku kulepas, kuletakkan di dalam tas yang tergantung di leherku. Kami bertiga bergenggaman erat, Kenalan yang mengantar tersebut di depan, saya di tengah dan Bang Azwar di belakangku. "Tidak boleh terlepas!" begitu kata sang pengantar kami. Di depan kulihat jubah Askar (tentara lakilaki = anggota keamanan mesjid) yang berdiri di ketinggian semen di tepi Hajar Aswad. Mungkin maksudnya untuk menjaga agar tidak terjadi keonaran di sekitar Batu Suci itu. Kami ikut antrian yang makin rapat di sekitar kami. Mudahmudahan kacamataku tidak pecah, doaku seraya merasakan kesesakan itu.
Namun, percobaan pertama kami itu gagal. Tibatiba keadaan menjadi kacau, ada desakan dari depan. Dan karena kami melawan arus, kami menjadi kacau dengan antrian kami yang tadi. Ah, mana barisan kami? Rasanya dada mau pecah sesak. Ingin menangis rasanya, siasia antri sekian lama. Desakan dari depan dan belakang seperti mengambil semua oksigen di sekitarku. Bagaimana bisa kami menembus semua ini? Akhirnya kami menyerah, apalagi saat peganganku dengan kedua orang yang lain terlepas. Saya mundur, menerobos kerumunan manusia. Kalah.
Wah, bagaimana ini? Sang kenalan yang mahasiswa Cairo, yang notabene sering mengantar orang mencium Hajratul Aswad pun tidak sanggup menahan gelombang manusia yang ratusan jumlahnya itu.
Dia menoleh ke arahku, "Hajjah... Hajjah!" tapi dikebaskannya kakinya, mungkin supaya saya melepas tarikan di jubahnya.
"Help me, Mister!" seruku putus asa dengan dada sesak akibat himpitan.
Dia menoleh lagi, kali ini tersenyum dan melambaikan tangannya menyuruh sabar dan tetap maju. "Hayya... hajjah!" katanya
Tibatiba kulihat di depanku seorang teman Taufiqullhidajat (Kak Onasis), anak Pak Ande (Tiga Utama, ONH Plus)
"Kak OO!" seruku keras dan panjang.
Dia menoleh "Eh Gi... siniko!" lengannya melepas rangkulannya dari seorang bermukenah di depannya dan kemudian merangkul saya. Saya maju selangkah didorong bang Azwar di belakangku dan Nugroho di belakangnya lagi. Tibatiba rangkulan Kak Oo terlepas karena dia harus menolong wanita di depannya untuk mencium Batu Suci, tapi kemudian dia sempat berseru, "Ayo maju, Gi!"
Dan tibatiba di depanku berdirilah Hajratul Aswad, Batu Suci, The Black Stone. Seperti dalam film yang sementara di-"slow motion":
Saya terperangah 1 detik
Memasukkan kepala ke dalamnya
Hanya bisa membaca bismillahi alhamdulillah 3 kali
Merasakan wangi dari batu itu
Melihat tanda seperti 3 buah cap jempol warna putih di dalamnya
Merasakan kesunyian di dalam relung batu
Tidak mendengarkan lagi onar di sekelilingku, seperti masuk ke dunia lain
Dan tibatiba, saat semuanya usai, saya terdorong ke belakang, kakiku melayang. Entah apa yang terjadi, tibatiba saya sudah berada di belakang kerumunan manusia, di lingkar terluar thawaf, jauh dari Hajratul Aswad.
Saya terduduk, air mata berlinang, "Maha Suci Engkau, Ya Allah. Maha Pemberi segalanya. Terima kasih untuk memberikanku kesempatan ini.
Kutunggu Bang Azwar dan Nugroho yang mengalami kejadian serupa datang mendekatiku. Rupanya setelah mencium tadi, jemaah di belakangku yang mengangkat badanku. Rupanya begitulah cara keluar dari sana dengan aman! Kami dioverover di atas kepala para jemaah, agar tidak terlindas manusia yang maju.
Berikutnya adalah saat kami akan melewati harihari terakhir di Mekkah. Dua hari lagi kloterku akan pindah ke Madinah, sementara kloter Bang Azwar sore ini. Jadi saya menemaninya Thawaf Wada siang itu. Thawaf perpisahan. Kami sengaja masuk masjidil Haram dari pintu 24. Pintu Nabi, Babussalam, namanya. menurut sejarahnya, Nabi Muhammad SAW selalu melewati pintu itu bila hendak masuk mesjid. Dan kami sering melakukannya di harihari terakhir kami di Mekkah saat itu.
Siang itu udara sangat panas. matahari tepat di atas kepala. Jadi sewaktu kami menjejakkan kaki di pintu As-Salam, dan merasakan dinginnya marmer, terasa kesejukan mengaliri jiwa kami. Kami shalat dhuhur dan mulai berthawaf. Tidak terasa thawaf usai, kami bergegas kembali ke bagian mesjid yang beratap, mencari kran air zamzam dan minum sepuasnya. lalu kami duduk menatap Kabah. Tibatiba, datang seorang jemaah Indonesia menyapa kami. Dia orang Bugis juga, dan mengalirlah percakapan yang menakjubkan itu. Dia menceritakan bahwa dari Pintu As-Salam terdapat jalur yang selalu dilewati Nabi. Dia menunjukkan tiangtiang tempat dulu para jin dan syaitan menunggu Nabi Muhammad, menggodanya untuk tidak melakukan shalat, dan bagaimana Sang Nabi tetap teguh pada pendiriannya. Tiap hari, tiap waktu shalat tiba, beliau tetap berangkat ke mesjid menjalankan ibadah wajibnya dengan khusyuk. Kami mengikuti ceritanya dan berjalan bersamanya melalui tiangtiang tersebut.Keberuntungan kami saat itu juga kami anggap sebagai keajaiban karena ternyata, menurut "kawan" kami itu, tidak semua orang tau kisah ini, tidak semua orang tau dan turut melaksanakan napak tilas Nabi Muhammad setiap harinya. Kami beruntung karena sempat tau. Dan kami takjub karenanya. Maha Suci dan Maha Pemberi Engkau Ya Allah, terimakasih sekali lagi untuk kesempatan mengetahui di mana sebenarnya "Jalan Nabi" itu.
Cerita lain lagi : sebelum berangkat ke Tanah Suci, banyak yang memperingati kita untuk selalu menjaga mata, telinga, mulut dan hati selama di sana, karena banyak bala yang dapat terjadi di sana akibat perbuatanperbuatan kita, baik di masa lalu, apalagi di Tanah Suci itu sendiri. Semuanya dijaga, berusaha tidak melanggar aturanaturan, agar semuanya berjalan baik, selamat dan damai.
Nah, berhubung sudah diwantiwanti begitu, saya pun berusaha melakoninya. Mengingat saya termasuk cerewet, suka jelalatan dan lainlain. Namun ada satu masalah : saya tuh paling tidak bisa menahan mulutku untuk mengeluarkan umpatan bila ada baubau aneh meracuni hidungku! Tepatnya : bau badan! Alias bau sakkulu'! Ampuuuun deh... kalo kejadian. Pasti saya langsung "Wei.... kok tidak pake rexona seeeh?"
Bagaimana kalo kejadian di Mekkah begitu. Kita semua tau ada berbagai macam suku bangsa terkumpul di sepanjang musim haji begitu. Bagaimana seandainya saat thawaf misalnya, di mana orang berjalan berdesakdesakan, saya tibatiba mengaromai ketiak orang? Bagaimana selanjutnya? Oh ya, tadi kita diperingatkan untuk menjaga mata, telinga, mulut dan hati kan? Tidak ada yang menyuruhku untuk menjaga hidung kan? Ah.... pikiranpikiran itu agak menggangguku sebelum berangkat.
Bagaimana akhirnya? Saya berangkat ke Tanah Suci dengan otakku yang penuh dengan wantiwanti para kisanakku. Sesampai di sana, saya mulai melakukan rukun wajib dan sunat yang pertama. Sepanjang hari itu, saya terkagumkagum dengan Ka'bah. Dengan Masjidil Haram. Begitu pula pada hari kedua dan ketiga. Namun memasuki hari keempat, perhatianku mulai terpecah dengan flu yang datang tibatiba. Flu berat menyerangku, tidak demam, tidak batuk, tapi cukup menggangguku saat harus ruku' atau sujud. Dan yang lebih ajaib lagi : PENCIUMANKU HILANG!
So... selama beberapa hari berikutnya saya tidak berpenciuman. Bau apapun yang ada di sekitarku, tidak kuketahui jenisnya, dan tentu saja itu berarti saya tidak mencela, tidak mengumpat dan bisa lebih sabar menghadapi segalanya. Ajaib kan?
Seperti jemaah haji yang lain saya juga punya sebuah foto sedang mengendarai unta. Untaku bernama Mehbub. Dia cantik sekali, putih bersih dan sangat ceria dengan bungabunga dan permadani di badannyaOleh tukang unta, yang sekaligus tukang fotonya mengatakan bahwa saya cocok sekali mengendarai Mehbub (ehm.... ya iya laaah.... kan dia dapat duit kalo jadi!). Tapi kemudian dia melepaskan Mehbub untuk kukendarai sendiri tanpa tuntunannya. Untung hewan itu sangat jinak. Mungkin saking tenangnya Mehbub, saat turun, si empunya ngomong, "Wanna keep Mehbub? Bring him back home to Indonesia!"
Lucu kali ya, kalo saya pulang dari Tanah Suci oleholehnya unta hidup!
Terima kasih untuk segalanya, Ya Allah, Tuhanku Yang Maha Ghaib dan Maha Penyayang.
Selamat menyambut hari Raya Idul Adha 1430 H
Drakula Jago
Tiba-tiba dia lari secepat kilat, terus dua menit kemudian sudah kembali lagi.
Mukanya penuh lumuran darah, seringainya sereem, katanya, "Lu pade liat desa diseberang bukit itu ?"
Yang dua lainnya ngangguk, "Iya, liat."
Desa itu..... habiissss!," ungkap sang Drakula.
"Lu liat kota yang itu?," katanya sambil mukanya menunjukan kalau dia bangga.
"Iya, liat", yang dua ngangguk juga.
"Kota itu juga habiiissssss! " kata yang paling tua sambil ketawa serem,"Hua ha ha hah!"
Temannya yang dua terperanjat, soalnya belum sampe setengah menit dia sudah balik, dengan penuh cucuran darah di muka dan matanya.
Temennya yang dua membatin, "Gila ni drakula, sangar amat, ternyata dia
yang paling jago".
Sambil ngosngosan dia teriak, "Lu pade liat nggak tiang listrik di pas belokan sana?"
"Liat! Liat!", kata yang lain.
"Sialan, gua kagak liat!!" seru si drakula kesakitan....!
Tempat Praktekku
Tempat praktek yang kumaksud ini sebenarnya garasi rumah orangtuaku, namun karena kemurahan hati Ibu, kami diijinkan membuat 3 ruangan di dalamnya : ruang praktek Bang Azwar, ruang praktekku, dan OK kecil untuk kamar tindakan. Nuansa biru-putih di dalamnya kami yakini memberikan suasana bersih dan nyaman. Pembangunannya sudah rampung beberapa bulan lalu (durante Juli 2008). Selama bulan Juli itu, rumah penuh debu dan berantakan sekali rasanya. Kami pun berdebardebar dengan bayangan : bagaimana ya hasilnya nanti? Apa sesuai dengan keinginan kami atau tidak? Macammacam pertanyaan berseliweran. Pun untuk bentuk pembatas ruanganku dan ruangan Bang Azwar, pun untuk bentuk dan ukuran wastafel, ukuran meja, bentuk bed-periksa, danlainlain... dan lainlain. Syukurlah sejak Juli hingga November ini sudah berfungsi menerima pasienpasien kami. Jadi di rumah ini sudah 3 dokter yang berpraktek: saya, Bang Azwar, dan of course Ibu!
Acara Ombaomba, kata orang Bugis, yang artinya : selamatan naik rumah baru (!) berupa acara makan ondeonde (Jawa: kue klepon) dan songkolo (nasi ketan) yang dimakan dengan palopo (gula merah cair), baru kami laksanakan sekarang ini. Biasa... klise: baru ada waktu. So, this is the grand opening of our private clinic Acara dibuka dengan pembacaan doa syukur dan shalawat nabi, serta memohon ampunan dan berkah dari Tuhan. Yang pimpin oom-ku, adik ibuku, namanya Puang Setia. Lalu kami pun segera makan. Ada yang makan ondeonde, ada yang makan songkolo, ada yang keduaduanya. Syukur Alhamdulillah, nikmatMu hari ini ya Allah...
Berikanlah kami selalu kesehatan agar dapat selalu membantu orang sakit menjadi sehat kembali dengan ijinMu, ya Allah.